Persahabatan Ari dan Sapta


“Setiap manusia itu pada dasarnya sama. Apa yang berbeda antara aku, kamu, dan mereka? Adakah perbedaan diantara kita? Kita sama-sama makhluk Tuhan, hanya saja aku memiliki sedikit kekurangan. Ya, kekurangan akan tidak berfungsinya salah satu panca inderaku. Tapi tak apa, itu bukan suatu masalah besar. Mungkin saat ini aku kurang beruntung, dan kuyakin aku akan beruntung seperti kamu di Surga nanti”

***

Di Sebuah Kota
      Kota ini tampak bising sekali pagi ini. Kesibukan terlihat dimana-mana. Di sudut jalan, perempatan lampu merah, hingga gang-gang kecil, terlihat orang-orang berlalu lalang memulai aktifitas. Suara khas pagi hari seperti kokok ayam, ibu-ibu mencuci baju, hingga suara-suara starter sepeda motor di panaskan mesinnya terdengar bersamaan, bercampur pada suasana pagi yang sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah.

Kau tentu tahu Kota Tua, bila kau sedang bepergian kesana berjalanlah secara perlahan di perempatan lampu merah dekat jembatan. Edarkan pandanganmu dan kau akan menemukan seorang anak lelaki manis, berkulit hitam berusia sekitar 9 tahun. Amati anak lelaki itu maka kau akan tahu. Kau akan paham, betapa beruntungnya dirimu. Anak lelaki itu bernama Sapta, bocah kecil yang harusnya sedang terbahak dan belajar bersama teman-temannya di sekolah namun terpaksa bekerja. Berjualan koran di samping pos polisi, tepatnya dua meter dari lampu merah. 

Lalu apa yang lain pada Sapta dari bocah-bocah penjual koran lainnya? Kau tentu akan bertanya-tanya sebelum melihatnya lebih lama, mengamati, dan mempelajari bagaimana Sapta kecil menjajakan korannya. Coba kau perhatikan dengan seksama, kau akan tahu bahwa kakinya lumpuh. Tak dapat berjalan. Di trotoar yang penuh debu itu ia terseok menawarkan korannya pada kendaraan-kendaraan yang tertahan oleh lampu merah.

Wajah polos Sapta yang dekil belepotan debu, seolah membuka perasaan iba pada orang-orang berhati mulia. Namun tak jarang ia tak dipedulikan. Keuntungan menjual koran tak seberapa, cukup untuk makan Sapta satu hari. Ia tinggal di sebuah ruko kosong tua bersama kakaknya yang bekerja sebagai kenek Metromini jurusan Stasiun Senen-Muara Karang. Orang tuanya tak tahu kemana. Sapta tak pernah tahu. Karena Asep, kakak Sapta tak pernah cerita tentang kedua orang tuanya.

Hari sudah mulai siang, namun Sapta baru berhasil menjual dua buah koran. Hatinya panik. Matahari yang semakin memanas membuat keringat semakin membanjiri tubuhnya. Sapta merasa lapar, karena memang tak pernah sarapan. Ini sudah waktunya makan, tapi uangnya jauh dari cukup. Bahkan untuk setoran saja tak ada.

“Koran.. koran...”, suara Sapta yang serak dan pecah terdengar menyayat hati.

Sambil merangkak terseok, ia melambai-lambaikan korannya pada setiap pengemudi. Tapi nihil. Jalan raya semakin sepi. Detik demi detik berlalu, semakin matahari meninggi, semakin pula hatinya gelisah. Belum lagi lapar dan dahaga yang mendera. Sapta merasa lelah.

“Bruggh!!”,  tiba-tiba seorang anak lelaki menabrak punggung Sapta, tapi tak terlalu keras. Orang itu terjatuh.

“Eh maaf-maaf, tongkatku hilang jadinya begini deh”, anak lelaki itu yang sepertinya berusia sepantar Sapta berusaha bangun, meraba-raba tubuh Sapta, namun matanya terpejam. Sapta bingung dan baru menyadari bahwa anak lelaki di hadapannya adalah seorang tuna netra. Sapta berusaha membantu anak itu berdiri meski tak bisa memapahnya karena Sapta sendiri pun tak dapat berdiri.

“Terimakasih”, kata anak lelaki itu setelah mampu berdiri di hadapan Sapta, sambil menenteng setumpuk koran.

“Sama-sama. Kamu jualan koran?”, tanya Sapta sambil mendangak menatap wajah anak lelaki itu.

“Iya, aku jualan koran di lampu merah dekat pasar. Kenapa?”

“Aku juga jualan koran disini, ya disini terus soalnya aku gak bisa kemana-mana karena gak bisa jalan. Pantesan aku gak pernah lihat kamu. Nama aku Sapta, kamu siapa?”

“Aku Ari, oh kamu jualan koran juga. Iya sama, aku juga gak bisa kemana-mana soalnya aku gak tahu jalan karena gak bisa liat, jadi selalu jualan korannya dekat pasar aja”

“Hmm sekarang kamu mau kemana?”, tanya Sapta merasa iba.

“Aku mau pulang, aku nyasar dari tadi pagi. Aku tadi diajak temanku bermain tapi dia malah ninggalin aku. Oh iya kamu mau gak nganterin aku pulang, kamu bisa melihat jalan kan? Aku gak tau arah jalan pulang, aku juga takut ketabrak mobil kalau jalan sendirian soalnya banyak jalan raya”, pinta Ari pada Sapta.

“Iyah, aku mau mengantarmu pulang, Ri”, sorak Sapta dengan semangat.

“Wah terimakasih yah, kamu baik banget. Yaudah yuk kita jalan”.

“Tapi..” Sapta baru menyadari dan melihat kedua kakinya dengan sedih.

“Tapi kenapa, Sapta?” tanya Ari, pandangannya lurus ke jalan dan matanya selalu terpejam.

“Aku gak bisa antar Ari pulang”,

“Memangnya kenapa?” Ari memelas.

“Kan aku udah bilang kalo aku gak bisa jalan seperti kamu”,

Ari terdiam. Terlihat ia sedang berpikir.

“Ari kenapa diam? Aku panggil tukang becak aja buat antar kamu pulang ya”.

“Eh jangan-jangan. Aku gak punya uang buat bayar becak. Aku mau yang anterin aku itu kamu”, Ari tetap memohon.

“Ya, tapi gimana caranya??”, tanya Sapta putus asa.

“Hmm.. tunggu bentar. Gimana ya caranya........ hmmmm...  Aha!! Kamu kan bisa lihat, tapi gak bisa jalan. Kalo aku bisa jalan tapi gak bisa lihat...”,

“Terus?” Tanya Sapta bingung.

“Aku akan gendong kamu, terus kamu yang kasih arah sementara aku yang jalan.. hehehe gimana?”, jelas Ari sumringah.

“Wah... pintar banget kamu. Oke. Hmm tapi gak apa-apa nhi kamu gendong aku?”,

“Hehe, gak apa-apa.. ayo naik ke punggungku!” Ari mengambil posisi setengah jongkok.

“Oke.. hati-hati ya.. aku takut jatuh”, kata Sapta sambil naik dan memeluk punggung Ari  sambil berpegangan pada pundaknya.

Ari menaikkan bokong Sapta dan berjalan perlahan. Kedua sahabat baru itu terlihat mengharukan. Menyusuri trotoar, menyebrangi jalan raya, dan bercengkrama sambil tertawa riang.

“Ari, kalo kamu capek bilang yah.. kita bisa istirahat dulu”

“Siap boss..”
***
Ari dan Sapta berjualan Koran
      Empat bulan kemudian, orang-orang pasar sudah mengenal Ari dan Sapta sebagai sahabat karib. Keduanya tampak sibuk bergendongan sambil menjajakan koran bersama-sama. Dengan begini, koran mereka lebih cepat habis dan bisa mengambil koran dari lapak lebih banyak lagi, karena daerah pasar mereka semakin luas. Tidak seperti dulu, Sapta dengan lampu merah dan pos polisinya, sementara Ari dengan lampu merah dan pasarnya. Kini tak hanya jalan raya yang ia telusuri untuk berjualan koran, penghuni komplek-komplek perumahan pun banyak yang sudah berlangganan dengan mereka.


“Coba saja aku kenal dari dulu sama kamu Ri, aku gak akan merasa kesepian dan kesusahan sendirian”, kata Sapta ketika sedang makan siang bersama Ari di sebuah warteg dekat pasar.


“Hahaha, kalo aku kenal kamu dari dulu cerita ini gak bakal ada.”, Ari terbahak sambil mengunyah makan siangnya.


Jakarta 29 Desember 2012, 18:52
Kudedikasikan cerpen ini untuk Bapak Taufik Efendi, seorang motivator tuna netra paling hebat yang pernah saya temui.

Komentar

oh ini surur 2012 toh. Keep blogging ya:)
Unknown mengatakan…
oWH IYAH kk.. hmm kk blogger juga yahh .. hhe .

Postingan populer dari blog ini

Gerakan Penghijauan bersama CV Mitra Bibit, sebagai bentuk pencegahan Global Warming

Pengalaman Pelatihan Lokakarya Komunikasi dan Kehumasan

Apa itu PETRICHOR ?