Sejak saat itu ...



Ya, sejak saat kepergian Ibu, hatiku setiap hari pilu seakan mati di liputi perih... hari hari kulalui dengan berat dan payah ... isak tangis selalu mewarnai sanubari hati ini... lelah aku mencoba tuk lupakan segalanya.. namun itu terlalu berat kulakukan... terlebih ketika Bapak menitipkan kedua adikku, Nabila dan Sisil, pada Budeku di Pemalang ...

Hari itu aku pulang parttime, dari Telkom Indonesia cabang/sto kedoya.. aku langsung membasuh tubuhku dengan air di kamar mandi .. tiada firasat yang bergejolak dalam hatiku.. semuanya terasa datar tanpa ada suatu keganjilan.. sampai setelah mandi , aku menyempatkan diri membaca sebuah koran remaja “GADIS” yang ku temukan di kelas 12 ak smkkn 9...
Sedang asyik membaca, tiba-tiba kkak ku memanggil dengan suara menyuruh ..
“ itu !! mama lo uadah sakaratul maut juga!! Ga tau diri lo !!
Suara itu seakan merobohkan nyawaku.. dengan sigap aku langsung menuju kamar Ibuku.. kudapati Ia tengah berusaha untuk bernafas namun payah.. itu bisa sangat kurasakan hanya dengan mellihat keadaanya.. aku ingin membantu ia bernafas .. namun keadaan sangat menyulitkan ... di temani Bapak dan Om Sam yang terus membacakan ayat ayat suci.. aku merintih , menangis dan terisak sambil memegangi lengan Ibu. Ku pandangi wajahnya dalam keadaan yang tidak berdaya..
Dalam hati aku merintih :
“ Ya Allah, jika Engkau hendak mengambil Ibu dariku, ambilah dengan perlahan tanpa menyakitinya, hamba ikhlas... “


Sambil terus membaca kalimat sahadat, aku mencoba menenangkan kedua Adikku yang kala itu Sisil tengah berusia 6,5 tahun dan Nabila yang berusia 3,9 tahun...
Mereka tidak tahu menau tentang apa yang sebenarnya terjadi.. namun dalam benakku aku menangkap ketakutan dan kebingungan serta ketidaktahuan dari raut mereka..
Setelah sekian lama Ibuku melawan maut.. akhirnya Ia kalah dan menyerah ..
Tepat pukul 19.39, 19-10-10.. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di iringi pecah tangisku, kedua adikku dan kakakku..
Aku takut.. aku layu.. dan meratap..
Aku tahu itu tiada guna namun aku tidak tahu lagi harus berbuat apa.. aku terlalu menikmati kesedihanku..dengan tampang biasanya Bapak segera mengatur untuk prosesi pemandian Ibu..
Aku hanya bisa memeluk kedua adikku, dan mengajak mereka sholat Isya.. dalam sholat, tak hentinya aku menangis


Derai air mata di tiap sujudku seakan menjadi saksi betapa terpukul dan kecewanya aku.. walau pun dalam hati aku merasa, pintaku pada sang pencipta telah terkabul.. yaitu ku mohon ambil Ibuku secara baik –baik ... namun perasaan sedih dan kecewa terlalu kuat untuk melawan perasaan ikhlasku.. terlebih ketika ku tatap satu persatu kedua raut wajah  adikku, air mata ini semakin meluap, mengalir dan membuncah ... aku menangis sejadi-jadinya...
Bude casmah yang baru datang dari pemalang pun seakan tidak dapat menahan kesedihannya.. ia lebih histeris daripada aku.. aku pilu melihatnya apalagi ketika mendengar ratapan dan raungannya yang menderu-deru.. hatiku seakan terkoyak dan tercabik...
Tubuh Ibuku dipindahkan dari kamarnya ke ruang depan, ruang TV.. Ruang yang biasanya menjadi tempat cekakakan itu kini berubah total menjadi haru ... basah oleh airmata-airmata kehilangan dan mengoyak akibat tersedak isak yang sulit untuk di ungkapkan ...
Aku semakin pilu.. ketika kerabat dan teman-teman ku datang melayat ...


Mereka saling menyalamiku, membisikkanku kata turut berduka cita ...aku semakin layu dalam rintihan yang entah sampai kapan akan usai ..
Setelah jasad Ibuku di mandikan dan berwudhu.. kami menyolatkannya.. dipimpin oleh Kak Aldi, guru ngajiku di TPA dulu.. dan setelah di putuskan, Ibuku akan di kebumikan ke Pemalang, di semayamkan dekat Mbah Tasmonah Dan Mbah Darso .. Mungkin inilah awal dari kesengsaraan ku kini..
Bu Rt meminjamkan mobil avanzanya untuk membawa sanak keluarga yang lain selain menggunakan Ambulance dari fasilitas bank Mandiri ..
Malam itu sekitar pukul 11.30, jenazah Ibuku di bawa dalam Ambulance ditemani seorang supir Pak De Carmudi, Bapak dan Aku. Sementara sanak keluarga yang lain Pak Lik Gepeng, Bu De Tariyah, Bu De Casmah, Om Sam, eko, nabila dan sisil membuntuti dari belakang dengan mobil Avanza...
Tak henti-hentinya aku membacakan surat Yassin untuk jenazah Ibuku yang tengah terbujur kaku dalam keranda di depanku.. di sampingku Pa De Carmudi hanya dapat menyimak sambil memberi instruksi jalan kepada sopir, meski di bangku depan ada bapak .    
Tak terasa sudah cukup jauh Mobil Jenazah yang aku tumpangi sudah melaju jauh meninggalkan Jakarta, aku seakan letih dan tak sanggup lagi untuk membacakan Yassin untuk Ibuku..akhirnya di SPBU, tempat isi Bensin sekitar Cikampek, aku meminta tukar posisi dengan kakakku ... aku yang berada di mobil Avanza bersama keluarga yang lain dan kakakku di ambulance dengan Bapak, Pa De Carmudi dan seorang sopir, kulihat saat itu kakak selalu membacakan yassin dalam perjalanan, sementara Nabila, sisil, Bu De Casmah dan Tariyah sedang mendengkkur di depan ku.. kebetulan aku duduk paling belakang dengan Om Sam..
Suasana di sini sangat berbeda dengan di ambulance.. disini terasa nyaman dan tidak bising.. sementara di mobil jenazah, sama sekali tidak bisa istirahat karena hanya terdapat satu bangku panjang tanpa sandaran, belum lagi suara sirine yang memekakan telinga..
Tak terasa aku tidur nyenyak dalam mobil avanza...
Singkat cerita, aku sampai lebih dulu daripada ambulance, karena ambulance kelewatan hingga Pekalongan...
Akhirnya sekitar satu jam kemudian, Mobil ambulance yang ditunggu menampakkan diri... dibawanya keranda memasuki rumah Bu De Casmah,, dan di letakkan di ruang depan.. seiring waktu berjalan, banyak orang dan para tetangga yang berbela sungkawa menyedekahkan beras, gula dan teh kepada Bu De Casmah.. karena memang adat di pemalang seperti itu, saling tolong menolong, antar warga yang sedang terkena musibah...
Kakakku tak hentinya membacakan  yassin di samping jenazah Ibuku yang teronggok dalam jenazah... dalam hati, aku salut dengannya,, ku akui ia lebih berbakti ketimbang aku,, ia tidak pernah membentak Ibu, tidak pernah melawan, dan selalu menuruti kata-kata ibu,,,
Sementar Aku??? Aku sangat sering mengecewakan Ibu... bahkan sering membuatnya menangis dan kecewa.. Ibu, jika aku di beri kesempatan untuk bertemu denganmu walau hanya dalam mimpi, maka kata yang mungkin keluar dari mulutku hanya “maaf” ..........
Sebelum di makam kan, Lebib desa, yaitu om Syahroni, mengadakan rapat guna menghormati jenazah Ibuku di pelataran rumah... di sisi lain Bu De Casmah sudah bersiap dengan recehan yang telah di campur beras untuk di sawerkan ketika Jenazah Ibu hendak diangkat, benar saja, Ia Iangsung melemparkan recehan –recehan itu ke atas keranda ketika empat orang mengangkat keranda ibu... dan banyak , kurang lebih 4 anak sd terdekat yang mengambil dan memunguti hal itu,, tak jarang orang dewasa turut memberitahu recehan yang terjatuh..........
Aku mengikuti jenazah ibuku dengan terbirit-birit sambil menggandeng addikku , sisil... ku telusuri jalan beraspal, becek, lembab hingga berbatu,,, aku terus mengikuti keranda itu ...
Sesampainya di pintu pemakaman, tak lupa aku mengucapkan salam,
“assalamu ‘alaikum wr.wb............”
Aku melihat seorang jenazah lain yang sudah dikuburkan dan sedang di doakan oleh beberapa orang di atasnya...
Kemudian terus ku ikuti keranda ibuku yang menuju sebuah liang lahat yang baru di gali, ukuranya panjang agak lebar dan tidak dalam... mungkin karena musim hujan , liang itu terdapat genangan air yang cukup dangkal.. namun sempat membuat aku was-was.. dalam isak, aku terus memperhatikan dengan seksama prosesi persemayaman Ibuku sambil sesekali ku belai rambut adikku, sisil...
Dengan sigap, orang-orang yang masih saudara-saudaraku itu menguburkan Ibuku.. Tanahnya gembur dan berwarna abu-abu, serta becek.. di sebelah kanan ada makam Kakekku, Mbah Darso, Dan di sebelah kanan makam mbah Darso ada makam Nenekku pula, Mbah Tasmona ...
Selesai makam tertutup tanah, segera Om Qodir menyiraminya dengan air mawar dan kembang tujuh rupa.. aku menyirami bunga dengan tatapan nanar dan kosong.. sempat terbesit dalam otakku.. aku ingin menemani ibuku, di liang lahat itu.. aku ingin terus menjaganya,,, aku takut ia kesepian di rumah barunya itu .. meskipun sebelah kanannya adalah makam Ayahnya, namun tetap saja, aku ingin sekali menemaninya ..........
Setelah mendoakan makam Ibu, aku , kakaku, sisil, bapak, nabila dan yang lain meninggalkan pemakaman itu menuju rumah Bu De Casmah.
Aku mencoba bertahan dan melawan rasa kehilanganku yang teramat dalam pada ibu, namun aku tak sanggup... aku masih merasakan pilu itu masih dalam diriku.
  
     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Kisah Pilu] Kesedihan Seekor Induk Kucing Pasca Banjir di UNJ

RINTIHAN SEPEDA TUA