UN dan segala Kecurangannya
Oleh
: Surur
Ujian Nasional (UN) yang
diselenggarakan oleh Depdiknas untuk SD, SMP, maupun SLTA tiap tahun nampaknya
masih menjadi sebuah problema yang patut untuk dijadikan dialektika demi
terciptanya sistem pendidikan yang baik, benar, akurat, dan tepat sasaran. UN,
diniilai sebagai sebuah ujian yang tidak efektif karena hanya mempelajari
soal-soal tertentu yang harus di jawab pada waktu yang ditentukan dan merupakan
sebuah tes penentu yang akan menentukan lulus atau tidaknya seorang siswa hanya
dengan indikator beberapa butir soal. Dalam beberapa kasus ditemukan pula
banyak penyelewengan dan kecurangan seputar UN yang menjadi polemik di dunia
pendidikan Indonesia. Kecurangan dalam UN tidak hanya dilakukan oleh para siswa
namun ironinya guru dan orang tua pun kerap mendukung kecurangan UN. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab munculnya
kecurangan UN, diantaranya pada siswa mungkin adanya faktor psikologis yaitu
ketakutan akan ketidak lulusan, ketidak percayaan akan kemampuan diri sendiri
dalam menjawab soal dan ketakutan akan di kucilkan bila tidak ikut curang dalam
UN. Pada guru faktor yang menyebabkan terlibatnya kecurangan dalam UN adalah
lebih dari pada ke pencitraan sekolah yang menginginkan seluruh siswa di
sekolah tersebut dapat lulus 100 persen. Kendati pun hal ini sangat mencoreng
pendidikan di Indonesia namun seakan menjadi rahasia umum bila kecurangan UN
memang sebuah hal yang wajar untuk menghadapi UN yang bersifat tahunan
tersebut. Para orang tua pun tak jarang yang ikut setuju dengan adanya
kecurangan UN. Bila benih-benih kecurangan ini sudah di kenalkan pada anak
sejak dini maka kondisinya di masa yang akan datang tidak akan baik. Ini sama
saja menanam embrio-embrio pelaku korupsi di negeri ini.
Lalu bagaimana seharusnya ?
Pada
dasarnya UN dibuat untuk melakukan proses ujian secara nasional dan serempak
guna menunjang pemerataan pendidikan secara menyeluruh. Namun, ketakutan dan
faktor-faktor yang menunjang pemicu terjadinya kecurangan dalam menghadapi UN,
diantaranya yaitu mencontek masal, pemberlakuan sistem contek “server dan
master” melalui handphone yaitu sistem terbaru kecurangan UN yang melibatkan
orang-orang tertentu misalnya guru atau murid yang pintar sebagai master untuk
menjadi otak untuk mengerjakan soal UN yang kemudian kunci jawabanya dilirim ke
server, yaitu murid lain yang bertugas untuk menyebar dan memforward jawaban si
master kepada semua teman-temannya. Hal ini tidak bersifat positif, karena
menggunakan kemajuan teknologi yang memang disalah gunakan untuk kecurangan.
Selain itu yang lebih menarik adalah dengan meresume semua pembahasan-pembahasan
soal UN tahun lalu kemudian dibuat suatu file dalam handpone dan di lihat
ketika sedang mengerjakan UN. UN, memang menjadi spekulasi antara baik dan
benar, antara ya atau tidak, dan antara curang atau murni. Bahkan ada satu lagi
yang menggelitik dan lucu, kecurangan UN yang berikut ini memang cukup ekstrim
dan sangat jarang dilakukan, yaitu dengan cara “calo UN”. Seorang siswa
misalnya akan UN tahun ini, lalu ia menyewa calo UN yang memang sudah pernah UN
dan terbukti mendapatkan nilai memuaskan di tahun-tahun sebelumnya. Untuk
tarif, biasanya tidak mengikat melainkan keputusan dan kesepakatan bersama
misalnya 500 ribu per mata pelajaran. Namun, cara ini cukup beresiko karena
dalam kartu UN terdapat foto peserta yang tidak bisa dimanipulasi, tapi ada
saja siswa yang menggunakan hal ini meski jarang sekali. Dengan pengawas UN
berasal dari luar sekolah atau sekolah lain tentu ini memberikan peluang untuk
para siswa yang berbuat curang dalam UN dengan leluasa melakukan aksinya karena
guru-guru tersebut pasti tak hafal peserta UN yang di awasnnya. Kalaupun
ketahuan menyontek, paling hanya beberapa teguran saja yang dilontarkan, tidak
ada sanksi nyata dan walaupun dalam pelaksanaan UN melibatkan anggota
kepolisisan namun tetap saja kecurangan semakin marak karena lemahnya hukum pun
menjadi salah satu penyebab dari terjadinya pelanggaran UN. Kecurangan UN
memang tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan selama UN masih diberlakukan,
sebagai pembuktian silakan periksa halaman sekolah di saat UN hari pertama baru
saja di lakukan pasti banyak lembar-lembar kertas berukuran kecil yang berisi
kunci-kunci jawaban berserakan begitu saja atau buktikan dengan periksa setiap
handpone dan bukalah folder sms masuk pasti terdapat sms-sms kunci jawaban yang
memang belum tentu kebenarannya dan asal sumbernya. Dilihat dari segi
psikologis, kebanyakan para siswa yang dalam waktu dekat akan menghadapi UN
pasti akan merasa galau dan tidak percaya diri atau pesismis. Hal ini bisa di
tinjau dari status-status facebook para siswa tersebut yang bernada galau atau
ketidaksiapan mengikuti UN. Jika ada yang menulis “siap”, bisa jadi hal ini
hanya menutupi citranya padahal pas UN berlangsung realitanya siswa tersebut
mencontek juga.
Ada api, ada pula air. Ada masalah,
pasti ada juga solusinya. Begitu pula dengan masalah kecurangan UN ini. Mungkin
dengan perbaikan sistem yang ada masalah kecurangan UN bisa teratasi dengan
cara diadakannya hukum yang berlaku tentang larangan mencotek ataupun
kecurangan apapun dalam UN. Selain itu keimanan dan ketakwaan pada siswa-siswa
yang akan mengikuti UN pun diperlukan adanya peng-upgrade-an yang menjadikan
siswa lebih siap mental dalam menghadapi UN. Selain itu muhasabah dan
motivasi-motivasi sebelum UN pun perlu digalakkan supaya para siswa menemukan
kepercayaan dirinya agar tidak melakukan kecurangan dalam UN. Guru juga
harusnya mendukung gerakan anti kecurangan UN bukan malah memberikan jalan kecurangan
untuk para siswanya, demikian juga orang tua harus lebih respect lagi terhadap
masalah kecurangan UN agar tidak mendukungnya guna membentuk karakter siswa
yang kokoh, teguh, jujur dan percaya diri.
Dua orang siswa yang sama-sama
lulus UN akan berbeda tingkat kepuasannya jika salah satunya adalah hasil
kecurangan sementara yang lainnya adalah hasil kejujuran.
Salam pendidikan,
Surur, TN Reg 2012
Komentar